Novita Lesyani☂: Cerpen Malam Tanpa Bintang
     

Cerpen Malam Tanpa Bintang


Hello migo mino miwo! *jegaje* Aku kembali hadir setelah lumayan lama ga hadir wkwk=)) Post kali ini bukan tutorial, bukan freebies, bukan sulap, bukan sihir, aku mau share cerpen terbaru aku ajaaaa;D Jadi gini, aku dikasih tugas sama guru bahasa indonesia untuk membuat sebuah cerpen, yaaa daripada cuma tesimpen di file, mending coba di share. Maaf ya kalo jelek, ga nyambung, buruk rupa, atau apalah, lagian aku kan manusia biasa punya banyak kekurangan dan aku juga bukan penulis hebat! Untuk catatan, ini bukan fakta ya, cuma fiktif doang;) Kalo mau baca cerpennya, read more! ;)

MALAM TANPA BINTANG

                Saat pekatnya malam sudah mengisi langit dan semilir angin sudah mulai masuk ke kamarku melalui lubang angin, aku hanya bisa menatapnya dalam diam, dalam kehangatan selimut yang tengah membalutku seperti kepompong. Kini, aku sendiri berada di dalam suatu ruang yang seluruh bagiannya telah terlihat rapi dan selalu terlihat rapi. Otakku mencoba mengingat sesuatu. Sesuatu yang terjadi beberapa bulan yang lalu, hingga berhasil membuatku berubah total seperti sekarang. Sesuatu yang membuatku merasa lebih tenang dan benar-benar menemukan bagian penting dari kebahagiaanku, ketenangan. Ketenangan dalam menjalani kehidupan. Lalu, dalam kesunyian, aku bisa dengan jelas menerawang ke masa lalu. Beberapa bulan yang lalu.
                Aku adalah Dinar, anak yang seharusnya bahagia dengan apa yang aku punya sekarang. Aku hidup bersama sejuta prestasi yang diimpikan banyak orang. Hidupku teratur seperti matahari yang selalu muncul di pagi hari atau bintang yang selalu muncul di malam hari. Selain itu, aku punya orang tua yang selalu mendorongku untuk menjadi anak yang berprestasi dan selalu dibanggakan oleh setiap orang.
                Seharusnya aku bahagia, bahkan lebih dari sekedar bahagia. Namun, entah mengapa dengan kehidupan yang diinginkan banyak orang seperti ini, semakin hari aku merasakan ada yang semakin hilang dari diriku. Aku yakin, itu adalah bagian terpenting dari semuanya, atau aku benar-benar akan berubah menjadi gadis yang aneh.
                Di sekolah, aku tidak seperti yang lainnya. Tertawa lepas, berlari-lari sambil berteriak, atau seperti sekumpulan siswa yang sedang mendiskusikan sesuatu dalam keheningan lalu tiba-tiba tertawa. Entah apa yang mereka pikirkan, aku sungguh tidak tertarik untuk ikut menjadi bagian dari mereka. Beginilah kehidupanku, bangun pagi, pergi ke sekolah, memperhatikan guru yang sedang mengajar, mengerjakan soal, pulang ke rumah, tidur, dan begitu juga keesokan paginya. Begitu teratur, bukan? Terkadang, aku juga harus belajar untuk mengikuti lomba-lomba yang sungguh menguji kepintaran dan kemampuan anak sekolah. Aku benar-benar bosan dengan hidupku.
                Apa arti kebahagiaan bagiku? Aku bisa berjalan, berteriak dan berpikir sesuka hatiku, kapanpun aku mau. Namun, ada satu bagian dari kebahagiaan yang benar-benar aku tidak bisa merasakannya. Aku tidak bisa menyebutkannya dengan teori-teori yang selama ini aku pakai. Aku selalu berpikir, aku selalu dituntut oleh setiap orang untuk melakukan yang terbaik. Setiap aku melakukannya, sesungguhnya itu bukanlah wujud dari melakukan yang terbaik. Aku hanya sedikit berpikir, berusaha, namun aku yakin itu bukan yang terbaik. Anehnya, aku selalu sukses dan berhasil melakukannya dengan sangat baik dan mendapat penghargaan. Aku melakukannya dalam kurun waktu bertahun-tahun sehingga membuatku jenuh untuk melakukannya lagi, dan benar-benar membuatku ingin mencari kebiasaan baru atau kegiatan baru.
                Aku sudah menetapkan, aku akan mencari bagian hilang dari kebahagiaanku. Itu adalah kegiatan baruku sekaligus misi rahasiaku. Sampai suatu ketika, aku bertemu dengan seorang gadis yang seumuran denganku, namun jauh berbeda denganku. Jauh sekali, hingga aku tidak bisa melihat dengan pasti seberapa jauh kami berbeda. Aku pernah membaca sebuah teori, bahwa dua orang sama fisik dan sama kepribadian tidak akan bisa berada dalam dunia yang sama, singkatnya kembar identik, dan mungkin karena aku dan dia adalah orang berbeda fisik dan berbeda kepribadian maka kami bisa hidup dalam dunia yang sama, namun bukankah terasa aneh jika hidup dengan seseorang yang jelas-jelas sangat berbeda denganmu, tidak ada pemecahan masalah karena jelas pemikirannya berbeda.
Namanya, Zaza. Zaza adalah seorang gadis yang mudah dekat dan berteman dengan siapa saja, tak jarang aku melihat dia sedang duduk sambil menceritakan sesuatu kepada seseorang hingga tertawa lepas, namun keesokan harinya, aku melihatnya dengan orang yang berbeda. Berbeda denganku, yang tidak bisa begitu saja percaya dengan seseorang untuk menceritakan sesuatu, meskipun itu hanya hal yang sama sekali tidak penting. Bagiku, di dunia ini semuanya perlu direncanakan matang-matang, kalau tidak, peranmu akan dimakan oleh waktu yang banyak terbuang karena berpikir sambil mengerjakan sesuatu. 
Awalnya, aku merasa risih dengan kehadirannya yang aku sebut sebagai cara isengnya untuk mempermainkanku yang sangat berbeda dengannya. Zaza pernah berkata, bahwa aku adalah gadis pintar dengan segudang prestasi, juga gadis dingin misterius yang terlihat seperti menyimpan segudang rahasia. Aku juga tidak terbebani atau merasa terganggu jika Zaza menyuruhku untuk membuat pertemanan dengan teman-teman di sekolah. Aku hanya akan menjawab bahwa aku sudah mencoba namun tetap tidak bisa. Atau, jika Zaza bertanya alasannya, aku hanya akan menjawab bahwa aku tidak bisa dengan mudahnya percaya dengan seseorang, meskipun hanya sekedar hubungan pertemanan.
Hingga suatu hari, aku mulai memberanikan diri untuk menceritakan kronologis kehidupanku kepada Zaza. Aku benar-benar tidak tahu apa yang saat itu sedang berada di benakku sampai aku berani menceritakan itu kepadanya. Lalu, seperti anak kecil yang melihat permen, mata Zaza berbinar dan kelihatan begitu tertarik mendengar ceritaku. Aku bercerita dari awal tentang seorang gadis pintar yang punya segalanya, hingga gadis itu mulai mencari bagian yang hilang dari kebahagiaannya. Sebenarnya, aku merasa canggung menceritakannya, namun Zaza tidak menghiraukannya dan tetap menantikan kelanjutan dari ceritaku. Zaza mulai tertarik dengan kisahku.
Akhirnya, aku dan Zaza sepakat untuk bekerjasama dalam menangani misi rahasiaku.  Entahlah, sejak aku menceritakan kronologis kehidupanku dan sepakat untuk menangani misi rahasiaku bersama, kami berdua menjadi semakin dekat. Bahkan, anehnya Zaza sudah mulai bisa membuatku tersenyum saat bertemu dengannya, tertawa saat dia menceritakan sebuah lelucon, atau marah ketika dia mulai bersikap aneh. Sejak saat itu pula, aku dan Zaza banyak menghabiskan waktu bersama. Seperti jalan-jalan, pergi ke pantai yang kebetulan tidak begitu jauh dari rumah kami, mengerjakan pr, atau sekedar pergi ke taman belakang sekolah untuk saling bercerita mengenai pengalaman hidup. Kami benar-benar banyak menghabiskan waktu bersama beberapa bulan ini.
Hingga pada suatu sore, Zaza mengajakku bermain di pantai dan aku menyetujuinya. Ditemani dengan sisa-sisa kehangatan matahari yang sebentar lagi akan pergi, kami bermain di sana, berlari-larian atau sekedar membuat istana dari pasir. Saat jam sudah menunjukkan pukul setengah enam dan itu artinya sebentar lagi matahari akan terbenam, Zaza mengajakku berbaring di atas pasir sambil menatap keindahan siluet jingga yang tengah bersemayam di langit sore pantai itu. Sejenak kami hanya diam dan menatap dalam-dalam sang surya yang tidak lama lagi akan turun dan menghilang di ujung pantai sana.
“Apa kau sudah menemukan bagian penting yang hilang dari kebahagiaanmu, Dinar?” Tanya Zaza. Untuk beberapa saat, aku diam sambil memikirkan jawaban apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan Dinar, lalu aku menoleh sekilas ke arahnya.
“Entahlah. Saat itu, aku sudah mengatakannya padamu, bahwa aku bahkan tidak tahu apa bagian yang hilang itu. Lantas bagaimana aku bisa mengatakan bahwa aku sudah menemukannya atau belum?” Jawabku.
“Jadi, selama ini kau belum menyadarinya? Biar aku jelaskan, pada saat kau menceritakan kronologis kehidupanmu padaku dan menceritakan tentang misi rahasiamu, sebenarnya aku sudah mengetahui apa jawabannya, hanya saja aku ingin membuatmu menyadarinya sendiri. Karena itu aku memberimu waktu untuk merasakan dan menyadarinya.” Jelas Zaza.
“Apa maksudmu, Za? Aku benar-benar tidak mengerti.” Tanyaku lagi sambil terus memandang matahari yang sudah siap meluncur ke ujung pantai.
“Kau pernah memikirkan atau merasakan ketenangan dalam hidupmu? Maksudku, ketenangan dalam menjalani kehidupan atau menikmati hasil yang sudah kau peroleh. Tidak pernah, bukan? Mengapa itu bisa terjadi? Jawabannya adalah, ketenanganmu sudah hilang karena selama ini kau hanya dituntut untuk melakukan yang terbaik tanpa niat yang sungguh-sungguh dari hatimu, sebenarnya kau sudah jenuh melakukan itu.”
“Lantas?”
Zaza menghembuskan napasnya, diam sejenak.
                “Hidupmu terlalu direncanakan, sehingga membuatmu tidak bisa menikmati dan menjalani hidup dengan enjoy. Saat kau punya masalah atau ada sesuatu yang ingin sekali kau ceritakan kepada seseorang, kau tidak menceritakannya karena kau tidak punya teman untuk berbagi, aku sungguh menyayangkan hal itu. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa gadis cantik, pintar, punya segalanya sepertimu ternyata tidak mempunyai ketenangan hidup hingga membuatmu tidak bisa menikmati apapun dari apa yang telah kau peroleh. Jadi, kau sudah mengerti, Dinar?”
Aku diam termenung memikirkan kata demi kata yang keluar dari mulut Zaza barusan. Oh Tuhan, aku benar-benar tidak menyangka masalah apa yang tengah aku hadapi, apa yang sedang aku cari. Kalau saja sampai sekarang Zaza tidak hadir dalam hidupku, maka apa yang akan terjadi selanjutnya? Aku benar-benar tidak bisa membayangkannya.
“Hei, Dinar! Kenapa kau diam? Jadi sudah mengerti? Sejak kita berteman seperti ini, kau jadi terlihat lebih menikmati hidupmu, mungkin karena sekarang kau sudah punya teman untuk berbagi, jadi hidupmu tidak lagi terbebani.” Ucap Zaza naik satu oktaf hingga berhasil membuyarkan lamunanku.
“Sungguh, aku benar-benar tidak menyangka dengan teori yang barusan kau katakan! Berteman denganmu membuatku jadi gila begini. Hahaha…” ledekku.
“Hei, aku tidak sedang berbicara tentang teori-teori yang membosankan itu. Satu hal lagi, aku bukan seseorang yang bisa membuatmu menjadi gila, kau gila karena ulahmu sendiri!”
“Aku hanya bercanda, Za. Lagipula tidak mungkin aku gila hanya gara-gara gadis sepertimu. Aku ini orang yang kuat terhadap serangan. jadi selesai sudah misi kita, Za! Kita sudah menemukan semuanya!”
“Aku tidak menyelesaikan misi apa pun, itu hanya misimu! Karena, aku sudah tahu dari awal. Hahaha…”
Jadi, kira-kira begitulah pertengkaranku dengan Zaza yang menjadi hiburan saat matahari mulai terbenam sepenuhnya. Pertengkaran yang normal terjadi antara dua orang sahabat, sahabat baruku. Jingga perlahan memudar dan berganti menjadi hitam pekat. Ditemani indahnya langit malam berhiaskan bulan dan taburan bintang, kami melangkahkan kaki pulang ke rumah dengan pikiran yang berkecamuk di otak masing-masing.
Sungguh, Tuhan telah mengajariku arti hidup yang sebenarnya. Melalui Zaza, aku belajar tentang arti hidup dan cara menikmatinya. Hingga sekarang, aku benar-benar tidak menyangka bahwa yang hilang dari hidupku hanya sebuah ketenangan, yang ternyata bisa menjadi hal yang penting ketika ketenangan itu perlahan memudar. Rasanya ada yang hilang, ada yang tidak lengkap. Seperti siang tanpa matahari atau seperti malam tanpa bintang. Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Still Confused? NoProb! Ask me here^^